OPINI
Oleh : Nursaini (Peserta SKPP perwakilan dari Pasaman Barat tahun 2021) |
Kesetaraan gender menjadi satu landasan dasar bagi penulis dalam menyikapi persoalan peranan dan eksistensi perempuan di bidang perpolitikan. Di awali sejumlah prinsip dengan perspektif feminis, maka adalah suatu kewajaran mutlak bagi setiap orang untuk bebas berekspresi tanpa secelah pun dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin atau sikap diskriminatif atas alasan problematika kesetaraan. Oleh karenanya kebebasan hak individu dalam segala hal mesti dijaga dengan konsisten oleh negara. Melalui corak bernalar yang feminis, maka asumsi utama untuk mengungkapkan hak perempuan dalam berpolitik adalah kesadaran akan kesetaraan dan hak kebebasan sebagai status ontologi asasi kemanusiaan. Secara tidak langsung, penulis tegaskan bahwa keadilan dari sudut pandang feminisme adalah menyuarakan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa perempuan memiliki hak untuk
berpartisipasi
di bidang
politik, terutama perempuan-perempuan
millenial yang mesti diberi peran. Alasan mengapa kondisi
saat sekarang sangat urgen menghubungkan peranan generasi millenial (perempuan)
dengan politik adalah karena
dapat sama-sama kita lihat dan rasakan sebagian besar perempuan millenial
lebih cenderung asyik dengan media
sosial sehingga minimnya inisiatif menciptakan pergerakan
yang nyata, kesadaran sosial kontrol, dan berkarya dengan kreativitas.
Terlibatnya generasi milenial dari kalangan perempuan dalam pengawasan
pemilihan umum untuk pemilu serentak tahun 2024 mendatang merupakan
salah satu cara menciptakan inisiatif pergerakan nyata itu sendiri, sekaligus sebagai
upaya memanifestasikan kebebasan hak bersuara dan berpolitik oleh siapa pun. Sebagaimana
tercantum dalam UUD
1945 pasal 28 E ayat 3 berbunyi, “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Serta pada pasal 28 G ayat 2 yaitu kebebasan memperoleh suaka politik.
Sebagai
warga negara, kita memiliki
hak yang sama tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan untuk
turut andil
dalam hal apa pun termasuk politik. Maka dari itu diperlukan gerakan yang
membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis keadilan
gender. Kesadaran persepsi publik
bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tidak cocok dengan dunia
politik mutlak harus diakhiri. Perempuan
tentunya mesti tampil eksis, serta mampu memproduksi
kebijakan-kebijakan yang berbasiskan pada pengalaman dan kebutuhan perempuan.
Peran kaum perempuan milenial dalam dinamika pemilu
tentunya tidak sebatas pendukung ataupun sebatas unsur
estetis politis. Selain itu, ada peran penting yaitu pada aspek etis tata
tertib pemilu. Nilai etis tersebut mencakupi tanggung jawab perempuan milenial
dalam berkontribusi pada alur pemilu misalnya bertugas di bidang kepengawasan.
Kemudian, sebagai bentuk edukasi agar memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai
salah satu sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan
demokratis. Sehingga mekanisme pemilihan dapat dilakukan secara tertib.
Proses pemilu terkesan menjadi tanggung jawab bersama tanpa
dicekoki oleh unsur-unsur pembedaan, termasuk unsur provokatif.
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka peran perempuan millenial sangat urgen dalam kancah perpolitikan di Indonesia, termasuk proses pemilu di Pasaman Barat. Hal ini tidak sekedar menyuarakan kesetaraan status sosial antara perempuan dan laki-laki, namun juga sebagai aspek edukasi terhadap kita bersama dalam mewujudkan pemilihan yang LUBER dan JURDIL . Oleh sebab itu menjadi tanggung jawab bersama bagi kita selain melindungi hak individu untuk berpartisipasi dalam politik, juga berperan aktif menjaga agar pelaksanaan pemilihan serentak mendatang bisa berjalan dengan baik dan berintegritas untuk mewujudkan Pemilu yang bermartabat. ****